Tanaman Transgenik

Minggu, 13 Februari 2011

REKAYASA GENETIKA PADA TANAMAN TRANSGENIK

Pada dasarnya prinsip pemuliaan tanaman, baik yang modern melalui penyinaran untuk menghasilkan mutasi maupun pemuliaan tradisional sejak zaman Mendel, adalah sama, yakni pertukaran materi genetik. Baik seleksi tanaman secara konvensional maupun rekayasa genetika, keduanya memanipulasi struktur genetika tanaman untuk mendapatkan kombinasi sifat keturunan (unggul) yang diinginkan. Bedanya, pada zaman Mendel, kode genetik belum terungkap. Proses pemuliaan dilakukan dengan ”mata tertutup” sehingga sifat-sifat yang tidak diinginkan kembali bermunculan di samping sifat yang diharapkan. Cara konvensional tidak mempunyai ketelitian pemindahan gen. Sedangkan pada new biotechnology pemindahan gen dapat dilakukan lebih presisi dengan bantuan bakteri, khususnya sekarang dengan dikembangkannya metode-metode DNA rekombinan.
Rekayasa genetika memiliki potensi sebagai teknologi yang ramah lingkungan .Selain ramah lingkungan  teknologi rekayasa genetika diharapkan akan dapat membantu mengatasi masalah pembangunan pertanian yang tidak lagi dapat dipecahkan secara konvensional. Contohnya dalam rangka meningkatkan produksi pertanian guna memenuhi kebutuhan penduduk yang selalu bertambah salah satu kendala utamanya adalah adanya gangguan hama dan penyakit. Survei sekilas dari literatur majalah ilmiah mengenai tanaman transgenik menunjukkan bahwa tanaman transgenik dibuat untuk beberapa tujuan yaitu : pengembangan teknik transformasi baru, studi dasar mengenai peranan atau fungsi suatu gen, dan perbaikan tanaman untuk tujuan khusus. Dengan rekayasa genetika sudah dihasilkan tanaman transgenik  yang memiliki sifat  baru seperti tanaman  transgenik yang tahan terhadap hama, tanaman kedelai yang tahan terhadap herbisida  dan tanaman transgenik yang mempunyai kualitas hasil yang tinggi.
           Kemajuan ini sangat penting dan dalam kenyataan jumlah tanaman transgenik yang diproduksi setiap tahun semakin meningkat. Hingga tahun 1988 hanya ada sekitar 23 tanaman transgenik. Jumlah tersebut meningkat menjadi 30 pada tahun 1989 dan lebih dari 40 pada tahun 1990. Tanaman transgenik direkayasa pertama kali pada tahun 1980-an. Hall, Kemp dan kawan-kawan telah mentransfer gen b–faseolin dari kacang-kacangan ke kromosom bungan matahari. Perkembangan lebih lanjut telah memungkinkan untuk melakukan transformasi genetik ke eksplan yang mampu beregenerasi seperti daun, batang dan akar. Terobosan terakhir dalam hal meregenarasikan tanaman monokot transgenik telah menghilangkan penghambat utama dalam usaha untuk perbaikan sifat  tanaman serealia. Dalam makalah ini akan dibahas kekhawatiran konsumen untuk mengkonsumsi tanaman  transgenik : berbahaya atau tidak.
       

 

 

 

Mengenal teknologi rekayasa genetika

           Teknologi rekayasa genetika merupakan  transplantasi atau pencangkokan satu gen ke gen lainnya dimana dapat bersifat antar gen dan dapat pula lintas gen. Rakayasa genetika juga diartikan sebagai perpindahan gen. Misalnya gen pankreas babi ditransplantasikan ke bakteri Escheria coli sehingga dapat menghasilkan insulin dalam jumlah yang besar. Sebaliknya gen bakteri yang menghasilkan toksin pembunuh hama ditransplantasikan ke tanaman jagung maka akan diperoleh jagung transgenik yang tahan hama tanaman.
Varietas baru
Apa yang ingin dilakukan oleh para ahli genetika ialah memasukkan gen-gen spesifik tunggal ke dalam varietas-varietas tanaman yang bermanfaat. Hal ini akan meliputi dua langkah pokok. Pertama, memperoleh gen-gen tertentu dalam bentuk murni dan dalam jumlah yang berguna. Kedua, menciptakan cara-cara untuk memasukkan gen-gen tersebut ke kromosom-kromosom tanaman, sehingga mereka dapat berfungsi.
Langkah yang pertama bukan lagi menjadi masalah. Dengan teknik DNA rekombinan sekarang, ada kemungkinan untuk menumbuhkan setiap segmen dari setiap DNA pada bakteri. Tidak mudah untuk mengidentifikasi segmen khusus yang bersangkutan di antara koleksi klon. Khususnya untuk mengidentifikasi segmen tertentu yang bersangkutan di antara koleksi klon, apalagi untuk mengidentifikasi gen-gen yang berpengaruh pada sifat-sifat seperti hasil produksi tanaman.
Langkah kedua, memasukkan kembali gen-gen klon ke dalam tanaman juga bukan sesuatu yang mudah. Peneliti menggunakan bakteri Agrobacterium yang dapat menginfeksi tumbuhan dengan lengkungan kecil DNA yang disebut plasmid Ti yang kemudian menempatkan diri sendiri ke dalam kromosom tumbuhan. Agrobacterium merupakan vektor yang siap pakai. Tambahkan saja beberapa gen ke plasmid, oleskan pada sehelai daun, tunggu sampai infeksi terjadi, setelah itu tumbuhkan sebuah tumbuhan baru dari sel-sel daun tadi. Selanjutnya tumbuhan itu akan mewariskan gen baru kepada benih-benihnya.
Rekayasa genetika pada tanaman tumbuh lebih cepat dibandingkan dunia kedokteran. Alasan pertama karena tumbuhan mempunyai sifat totipotensi (setiap potongan organ tumbuhan dapat menjadi tumbuhan yang sempurna). Hal ini tidak dapat terjadi pada hewan, kita tidak dapat menumbuhkan seekor tikus dari potongan kepala atau ekornya. Alasan kedua karena petani merupakan potensi besar bagi varietas-varietas baru yang lebih unggul, sehingga mengundang para pebisnis untuk masuk ke area ini.

Kapas Transgenik
Tanaman hasil rekayasa genetika atau sering kita sebut sebagai tanaman transgenik melangkah dari eksperimen laboratorium ke uji lapangan dan akhirnya komersialisasi hampir tanpa hambatan yang berarti. Memang, kadang ada eksperimen yang gagal, tetapi tidak sampai menimbulkan ”kecelakaan.”
Tahun 1989 untuk pertama kalinya uji lapangan dilakukan pada kapas transgenik yang tahan terhadap serangga (Bt cotton) dan pada tahun yang sama dimulai proses pemetaan gen pada tanaman (Plant Genome Project). Pada tahun 1992 sebuah perusahaan penyedia benih memasukkan gen dari kacang Brasil ke kacang kedelai dengan tujuan agar kacang kedelai tersebut lebih sehat dengan mengoreksi defisiensi alami kacang kedelai untuk bahan kimia metionin. Meskipun sedikit, ada orang yang alergi terhadap kacang Brasil dan kacang kedelai transgenik tersebut menimbulkan efek alaergi pada orang yang sama.
Perusahaan tersebut menghentikan projek tersebut padahal ratusan ribu orang dapat diselamatkan dari kekurangan gizi tersebut dibandingkan satu atau dua orang saja yang alergi terhadap kedelai tersebut. Dua tahun kemudian untuk pertama kalinya Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA) menyetujui pangan transgenik (tomat) yang dapat ditunda proses kematangannya (FLARSAVR Tomatoes). Pada tahun 1999, di Inggris, dengan badan regulasi keamanan produk pangan yang telah kehilangan kepercayaan setelah epidemi ”sapi gila.” Produk hasil rekayasa genetika menjadi perkara besar, padahal di Amerika perkara yang sama telah menjadi biasa pada tiga tahun sebelumnya.
Serap tenaga kerja
Memang di dalam teknologi rekayasa genetika ada yang aman ada juga yang tidak, sama amannya atau sama bahayanya dengan gen-gen yang direkayasa. Apabila gen introduksi menghasilkan racun, tanaman transgenik dengan sendirinya akan menjadi racun. Kelebihan dari proses rekayasa genetika tanaman transgenik dibandingkan dengan pemuliaan tanaman secara tradisional yaitu dalam tanaman transgenik, gen yang dipindahkan dapat diketahui dengan persis dan dapat diikuti "perjalanannya". Tanaman yang tahan terhadap serangga tertentu, tidak begitu banyak memerlukan insektisida, bahan bakar untuk alat semprot, dan tidak ada kaleng bekas insektisida menjadikan tanaman transgenik ramah terhadap lingkungan.
Dapat menjadi bahan renungan bagi kita, saat ini enam puluh persen benih yang dijual di Amerika adalah benih hasil rekayasa genetika. Tak heran, jika sejak 1992 pertumbuhan industri bioteknologi mengalami pertumbuhan lebih dari tiga kali lipat. Dengan peningkatan pendapatan dari 8 miliar dolar AS di tahun 1992 menjadi 27,6 miliar dolar AS di tahun 2001.
 Benih-benih yang mengalami rekayasa genetika merupakan contoh terobosan teknologi dalam  industri pangan.  Dengan menggunakan tanaman transgenik hasil panen bisa meningkat hingga lebih dari dua kali lipat.  Jika benih jagung biasa hanya menghasilkan 3,2 ton per hektar setiap panennya, maka jagung transgenik bisa menghasilkan 7,8 ton per hektar.  
Tanaman transgenik adalah tanaman yang dikembangkan melalui proses rekayasa genetika dengan menyisipkan sel asing ke dalam tumbuhan tersebut.   Pada tahun 2002 di seluruh dunia ada empat tanaman transgenik utama, yaitu kedelai (36%), kanola (36%), kapas (11%) dan jagung (7%). Sampai saat ini belum ada tanaman produk rekayasa genetika buatan dalam negeri yang telah mendapatkan izin untuk dibudidayakan oleh petani.   Namun, semua produk turunan kedelai  yang ada di Indonesia seperti tempe, tahu, kecap keripik dan lain sebagainya, bahan bakunya merupakan kedelai transgenik impor dari Amerika Serikat.
Pemerintah berdasarkan surat keputusan bersama empat menteri tahun 1999 pernah mengizinkan penanaman tanaman non-pangan transgenik swasta di Sulawesi Selatan, yaitu berupa kapas transgenik.  Bibit kapas dipasok oleh PT Munsanto, sebuah perusahaan multinasional yang bergerak di bidang rekayasa genetika.   Pada tahun 2001, penanaman kapas berakhir dengan gagal panen.  Bahkan 10% kapas yang ditanam tidak dapat tumbuh.  Kasus ini adalah contoh kegagalan tanaman transgenik di Indonesia, dan yang menjadi korban adalah para petani miskin. 
Dilema tanaman transgenik
Tanaman transgenik memang dapat meningkatkan produksi pertanian, tetapi di saat bersamaan, tanaman ini mengancam kelangsungan ekologis dan membahayakan kesehatan.  Sekitar 25% tanaman transgenik di seluruh dunia dimasukkan protein Bt yang bisa ikut memusnahkan serangga (hama) non-target.  Resiko ekologis lain adalah kontaminasi genetik yang tak terkendali dan ketidakseimbangan antara musuh alami (predator) dan hama. 
Dari segi kesehatan, tanaman hasil rekayasa genetika merupakan bom waktu biologis yang dapat menganggu sistem kekebalan dan berkombinasi dengan virus dan bakteri lain menimbulkan patogen baru.   DNA tanaman transgenik yang diserap oleh bakteri di tanah dan perut manusia akan menyulitkan pengobatan terhadap infeksi.  Setelah proses pencernaan DNA tanaman transgenik akan tetap hidup dan melompat ke genom sel mamalia sehingga memungkinkan penyakit kanker. 
Sekitar 75% tanaman transgenik yang toleran dengan herbisida menggunakan glufosinat dan glifosat.   Amonium glufosinat menyebabkan keracunan neurologis, pernapasan, gastrointestinal dan haematologis, serta kelahiran cacat pada manusia dan mamalia sedangkan glifosat merupakan penyebab utama keluhan sakit dan keracunan di Inggris. 
Berdasarkan informasi dari YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia), uji makanan transgenik yang pernah dilakukan di Jerman terhadap tikus mendapat hasil bahwa anak-anak tikus yang diberi makanan transgenik memiliki peluang kematian enam hingga delapan kali lebih besar dibanding tikus yang tidak diberi makanan transgenik.  
Gen dari sel ambing susu domba ditransplantasikan ke sel telurnya sendiri yang kemudian ditumbuhkembangkan  di dalam kandungan induknya sehingga lahirlah domba Dolly yang merupakan hewan kloning (cangkokan ) pertama di dunia. Demikian pula gen tomat ditransplantasikan ke ikan transgenik  sehingga ikan menjadi tahan lama dan tidak cepat busuk dalam penyimpanan.
Rekayasa genetika dalam bibit pangan nabati telah berkembang dengan luas begitu pula produk rekayasa genetika pada hewan misalnya produksi hormon untk peningkatan kuantitas maupun kualitas dari pangan hewani. Dengan adanya produk-produk rekayasa genetika tersebut  dapat dikatakan bahwa produk rekayasa genetika khususnya  bahan pangan  mengintroduksi unsur toksis, bahan-bahan asing dan berbagai sifat yang belum dapat dipastikan dan berbagai karakteristik lainnya. Oleh karena itu muncullah berbagai kekhawatiran  dalam menggunakan dan mengkonsumsi  bahan pangan transgenik. Kekhawatiran dapat bersifat ilmiah  yang dibuktikan dengan berbagai hasil percobaan, tetapi ada pula kekhawatiran yang disebut kekhawtiran logika (public anxiety). Misalnya di Indonesia benalu kopi adalah obat untuk kanker sebab tanaman tersebut menjadi kanker pada tanaman kopi.

 

Kekhawatiran terhadap tanaman transgenik

 

Adanya reaksi alergis pada manusia satu-satunya dampak negatif  gangguan kesehatan yang disebabkan mengkonsumsi bahan pangan transgenik yang sudah dapat dibuktikan melalui percobaan  skinprick testing. Hal ini dibuktikan oleh Nordlee dan kawan-kawan pada tahun 1996. Oleh karena itu seluruh gen  yang dipergunakan maupun produk yang telah dihasilkan ditarik dari peredaran, sehingga dapat dikatakan bahwa sampai saat ini belum ada lagi dijumpai keberadaan dampak negatif mengkonsumsi pangan transgenik terhadap gangguan kesehatan pada manusia. Disamping hal positif terdapat kekhawatiran dari sebagian masyarakat bahwa tanaman transgenik akan mengganggu, merugikan dan membahayakan bagi kesehatan manusia. Berikut akan diuraikan mengenai kekhawatiran dan fakta yang mendukung bahwa tanaman transgenik merupakan produk yang aman.

 

1. Kemungkinan menimbulkan keracunan.
           Ada kekhawatiran apabila manusia memakan organisme khususnya tanaman transgenik yang mengandung gen Bt-endotoxin akan mati karena keracunan. Kekhawatiran tersebut didasari oleh sifat beracun dari gen Bt terhadap serangga, karena serangga yang memakan tanaman transgeniktersebut akan mati akibat racun gen Bt. Pendapat ini tidak benar karena gen Bt hanya akan bekerja secara aktif dan bersifat racun apabila bertemu sinyal penerima (receptor) di dalam usus serangga dari golongan yang sesuai dengan dengan virulensinya. Gen Cry I       hanya manjur untuk serangga golongan Lepidoptera sedangkan gen Cry III hanya untuk Coleoptera. Usus serangga mempunyai pH basa sedangkan usus manusia mempunyai pH asam dan tidak memiliki sinyal penerima Bt. Menurut hasil penelitian gen Bt tidak stabil dan aktif pada pH lebih kecil dari  lima. Selain itu sejak puluhan tahun yang lalu Bt-toxin telah digunakan oleh petani di negara maju sebagai pestisida hayati yang aman baik terhadap hewan, serangga berguna maupun manusia. Oleh karena itu secara ilmiah tanaman transgenik yang mengandung gen Cry tidak akan beracun terhadap manusia.
2. Kemungkinan menimbulkan alergi
           Kekhawatiran lain dari tanaman hasil rekayasa genetik adalah sebagai penyebab alergi. Satu sampai dua persen orang dewasa dan 4-6% anak-anak menderita alergi akibat makanan. Beberapa komoditas yang digunakan sebagai bahan makanan diketahui dan dikenal sebagai sumber bahan penyebab alergi (allergen) seperti brazil nutcrustacean, gandum, ikan, kacang tanah, kedelai dan padi. Sebagai peneliti sebelum mengisolasi gen interes dari suatu komoditas untuk digunakan dalam  perakitan tanaman transgenik kita harus mengetahui terlebih dahulu sumber-sumber allergen. Penggunaan gen yang berasal dari sumber allergen harus benar-benar dihindari.
           Suatu studi kasus yang relevan yang telah dilakukan adalah perakitan tanaman transgenik untuk memperoleh kedelai dengan kandungan metionin tinggi, karena diketahui tanaman kedelai mempunyai kandungan metionin rendah. Oleh karena itu dilakukan isolasi gen metionin dari tanaman brazil nut yang mengandung metionin tinggi dan ditransfer ke tanaman kedelai. Perakitan tersebut berjalan dengan sukses dan diperoleh tanaman kedelai yang mengandung gen metionin. Tetapi setelah dilakukan pengujian sifat alergi terhadap manusia melalui uji skin prick ternyata hasilnya positif menyebabkan alergi. Sebagai akibat dari hasil pengujian tersebut maka pengembangan proyek kedelai transgenik dengan kandungan metionin tinggi dihentikan dan produk tersebut tidak dapat dikomersialkan.
           Semua allergen adalah protein tetapi tidak semua protein adalah allergen. Makanan atau bahan pangan mengandubng puluhan ribu protein, tetapi sedikit sekali yang bersifat allergen. Allergen dijumpai dalam jumlah yang tinggi di dalam makanan atau bahan pangan, sebaliknya kandungan protein dari gen interes berjumlah sangat sedikit. Semua protein allergen bersifat stabil  dan memerlukan waktu yang lama untuk dicerna di dalam sistim pencernaan. Sifat tersebut sangat berbeda dengan protein tanaman dimana gen donor hanya dalam waktu beberapa detik sudah dapat dicerna. Selain itu diketahui pula bahwa semua allergen terdapat dalam konsentrasi tinggi dalam makanan serta stabil dan aktif pada suhu lebih besar 65oC dan pH 5. Hasil penelitian menunjukkan bahwa gen donor sebagai bahan gen transgenik tidak stabil dan aktif pada suhu lebih besar dari 65oC dan pH 5, sehingga apabila dilakukan pemanasan dalam proses memasak makanan tidak berfungsi lagi.
3. Kemungkinan menyebabkan bakteri dalam tubuh manusia dan tahan antibiotik.
           Ada kekhawatiran lain bahwa penggunaan marka tahan antibiotik seperti kanamycin resistant (Kan-R) dalam tanaman transgenik menyebabkan bakteri di dalam tubuh  menjadi resisten terhadap antibiotik. Kemungkinan bakteri di dalam tubuh menjadi resisten karena transfer horizontal gen Kan-R dari tanaman transgenik yang dikonsumsi ke bakteri di dalam usus adalah sangat kecil. Gen Kan-R yang ditransfer ke tanaman melalui rekayasa genetika akan terinkorporasi ke dalam genom tanaman. Sedangkan tanaman tidak mempunyai suatu mekanisme untuk mentransfer gen yang sudah terinkorporasi tersebut  ke bakteri. Terjadinya transformasi pada bakteri memerlukan suatu kesamaan homologi yang tinggi antara utas DNA donor dan DNA penerima. Selain itu gen yang ada pada tanaman  berada di bawah komando promotor tanaman yang tidak akan bekerja pada bakteri. Cara yang lebih cepat untuk menjadikan  bakteri dalam tubuh menjadi resisten terhadap antibiotik adalah dengan mengkonsumsi antibiotik yang berlebihan sewaktu orang sedang sakit. Menurut penelitian, manusia diestimasi telah mengkonsumsi 1 juta jasad renik tahan kanamicin melalui bahan pangan seperti sayur-sayuran mentah. Disamping itu secara alami 4 triliun bakteri tahan kanamicin sudah ada dan menghuni usus manusia. Pernah juga dikatakan adanya resistensi terhadap beberapa jenis antibiotika apabila mengkonsumsi pangan transgenik, tetapi setelah diteliti penyebabnya bukan disebabkan karena penggunaan bahan pangan transgenik tetapi adanya residu antibiotita yang berlebihan pada air susu yang diproduksi  dengan menggunakan bahan transgenik. Setelah ditelusuri  ternyata sapi-sapi yang disuntik hormon bovinesomatothropine (rBST) menghasilkan produksi susu yang meningkat.

Berbahayakah tanaman transgenik?

 

           Selama produk rekayasa tanaman transgenik dilakukan dengan memasukkan prinsip-prinsip etika moral maka tanaman transgenik tersebut tidak berbahaya bagi konsumen. Sebagai contoh, di Indonesia pada awal tahun 2001 dihebohkan dengan kasus penyedap rasa (monosodium glutamat) yang diproduksi dengan menggunakan  enzim yang diisolasi dari gen babi yang haram hukumnya bagi mereka yang menganut agama Islam. Hal ini dapat dikategorikan sebagai kekhawatiran yang berdampak negatif mengkonsumsi bahan transgenik terhadap gangguan etis dan agama.
           Di Indonesia sampai saat ini belum ada lagi laporan ilmiah yang telah dibuktikan menyatakan bahwa mengkonsumsi pangan transgenik menyebabkan gangguan kesehatan selain reaksi alergis (hal inipun gen dan produknya telah ditarik dari persedaran) maka dapat dikatakan pada saat ini pangan transgenik belum berbahaya bagi kesehatan.
           Di luar negeri telah dikeluarkan  petunjuk dan rekomendasi mengenai bioteknologi dan keamanan pangan. Misalnya di Amerika Serikat keamanan pangan termasuk produk rekayasa genetika ditangani oleh suatu badan yaitu Food and Drug Administration (FDA) . Badan ini membuat pedoman keamanan pangan yang bertujuan untuk memberikan kepastian bahwa produk baru (termasuk yang berasal dari hasil rekayasa genetika) sebelum dikomersialkan  produk tersebut harus aman untuk dikonsumsi dan masalah keamanan pangan harus dukendalikan dengan baik. FDA akan melakukan telaah ulang terhadap produk asal tanaman transgenik apabila terdapat pengeluhan atau pengaduan dari publik yang disertai dengan data yang bersifat ilmiah. Gen yang ditransfer pada tanaman menghasilkan tanaman transgenik oleh FDA disepadankan dengan food additive yang dievaluasi secara substansi sepadan. Apabila bahan pangan baru diketahui secara substansial sepadan dengan bahan pangan yang telah ada, maka ketentuan keamanan bahan pangan tersebut sama dengan ketentuan bahan pangan aslinya. Kesepadanan substansial  ditentukan berdasarkan : sifat fenotipik, Karekteristik molekuler, analisis kandungan nutrisi, sifat potensial toksisitas dan non-toksisitas, sifat alergen dan non-alergen, penggunaan kategori generaly regarded as save (GRAS) dan tidak melakukan pelabelan bahan pangan yang berasal dari tanaman transgenik.
           Kelompok konsidarasi  dari badan international dunia Food and Agriculture Organization (FAO) memberikan beberapa petunjuk dan rekomendasi mengenai bioteknologi dan keamanan pangan, yaitu :
1.      Peraturan mengenai keamanan pangan yang komprehensif dan diterapkan dengan      baik merupakan hal yang penting untuk melindungi kesehatan konsumen dimana semua negara harus dapat menempatkan peraturan tersebut seimbang dengan perkembangan teknologi.
2.      Penilaian kesamaan untuk produk rekayasa genetika hendaknya berdasarkan konsep substansial equivalen.
3.      Pemindahan gen dari pangan yang menyebabkan alergi hendaknya dihindari kecuali telah terbukti bahwa gen yang dipindahkan tidak menunjukkan alergi.
4.      Pemindahan gen dari bahan pangan yang mengandung alergen  ke organisme lain tidak boleh dikomersialkan.
5.      Senyawa alergen pangan dan sifat dari alergen yang menetapkan immuno genicity dianjurkan untuk diidentifikasi.
6.      FAO akan mengadakan lokakarya untuk membahas dan memutuskan bilamana ada beberapa gen  marka ketahanan antibiotik  yang harus dihindarkan dari tanaman pangan komersial.
7.      Perlu ada pangkalan data (data base) tentang pangan dari tanaman, mikroorganisme pangan, dan pakan.
8.      Validasi metoda sangat diperlukan
9.      Negara berkembang harus dibantu dalam pendidikan dan pelatihan tentang keamanan pangan dan komponen pangan yang ditimbulkan oleh modifikasi genetik
10. Perlu ditingkatkan riset untuk pengembangan metode untuk meningkatkan kemampuan dalam melakukan penilaian  keamanan pangan unt8uk produk rekayasa genetik..

0 komentar:

Posting Komentar

welcome

Browse