PEWARNA, PENGAWET DAN PEMANIS PADA MAKANAN

Senin, 26 Maret 2012

BAHAN PEWARNA
Bahan pewarna makanan terbagi dalam dua kelompok besar yakni pewarna alami dan pewarna buatan. Di Indonesia, peraturan mengenai penggunaan zat pewarna yang diizinkan dan dilarang untuk pangan diatur melalui SK Menteri Kesehatan RI Nomor 722/Menkes/Per/IX/88 mengenai bahan tambahan pangan. Akan tetapi seringkali terjadi penyalahgunaan pemakaian zat pewarna untuk sembarang bahan pangan, misalnya zat pewarna untuk tekstil dan kulit dipakai untuk mewarnai bahan pangan. Hal ini jelas sangat berbahaya bagi kesehatan karena adanya residu logam berat pada zat pewarna tersebut. Timbulnya penyalahgunaan tersebut antara lain disebabkan oleh ketidaktahuan masyarakat mengenai zat pewarna untuk pangan, dan disamping itu harga zat pewarna untuk industry jauh lebih murah dibandingkan dengan harga zat pewarna untuk pangan. Hal ini disebabkan bea masuk zat pewarna untuk bahan pangan jauh lebih tinggi daripada zat pewarna bahan non pangan. Lagipula warna dari zat pewarna tekstil atau kulit biasanya lebih menarik.
Warna dapat memperbaiki dan memberikan daya tarik pada makanan. Penggunaan pewarna dalam bahan makanan dimulai pada akhir tahun 1800, Berikut ini adalah pewarna makanan yang sering digunakan baik di kalangan rumah tangga maupun di industri, untuk warna tambahan berasal dari alam seperti kunyit, daun pandan, daun suji, coklat, wortel, dan karamel. Zat warna sintetik ditemukan William Henry Perkins tahun 1856, zat pewarna ini lebih stabil dan tersedia dari berbagai warna. Zat warna sintetis mulai digunakan sejak tahun 1956 dan saat ini ada kurang lebih 90% zat warna buatan digunakan untuk industri makanan. Salah satu contohnya adalah tartrazin, yaitu pewarna makanan buatan yang mempunyai banyak macam pilihan warna, diantaranya Tartrazin CI 19140. Selain itu ada pula Sunsetyellow FCF (orange), Carmoisine (Merah), Brilliant Blue FCF (biru).
BAHAN PENGAWET
Penambahan bahan pengawet pada produk pangan menjadi bahan perhatian utama mengingat perkembangan iptek pangan menyangkut hal tersebut yang begitu cepat serta sering menimbulkan teka-teki bagi konsumen menyangkut keamanannya. Berikut  ini adalah beberapa bahan pengawet yang dapat digunakan baik alami maupun kimiawi
Garam atau NaCl
Telah berabad lampau digunakan hingga saat ini sebagai bahan pengawet terutama untuk daging dan ikan. Larutan garam yang masuk ke dalam jaringan dan mengikat air bebasnya, sehingga menghambat pertumbuhan dan aktivitas bakteri penyebab pembusukan, kapang, dan khamir. Produk pangan hasil pengawetan dengan garam dapat memiliki daya simpan beberapa minggu hingga bulan dibandingkan produk segarnya yang hanya tahan disimpan selama beberapa jam atau hari pada kondisi lingkungan luar. Ikan pindang, ikan asin, telur asin dan sebagainya merupakan contoh produk pangan yang diawetkan dengan garam.
Gula atau sukrosa
Gula atau sukrosa merupakan karbohidrat berasa manis yang sering pula digunakan sebagai bahan pengawet khususnya komoditas yang telah mengalami perlakuan panas. Perendaman dalam larutan gula secara bertahap pada konsentrasi yang semakin tinggi merupakan salah satu cara pengawetan pangan dengan gula. Gula seperti halnya garam juga menghambat pertumbuhan dan aktivitas bakteri penyebab pembusukan, kapang, dan khamir. Dendeng, manisan basah dan atau buah kering merupakan contoh produk awet yang banyak dijual di pasaran bebas.
Cuka buah atau vinegar
Merupakan salah satu bahan yang dapat digunakan untuk mengawetkan daging, asyuran maupun buah-buahan. Acar timun, acar bawang putih, acar kubis (kimchee) merupakan produk pangan yang diawetkan dengan penambahan asam atau cuka buah atau vinegar. Data pengaturan bahan pengawet dari Codex Alimetarius Commission(CAC), USA (CFR), Australia dan New Zealand (FSANZ) tercatat 58 jenis bahan pengawet yang dapat digunakan dalam produk pangan.Indonesia melalui Peraturan Menteri Kesehatan No. 722 tahun 1988 telah mengatur sebanyak 26 jenis bahan pengawet.
Sehubungan denga teka-teki yang muncul menyangkut keamanan penggunaan bahan pengawet dalam produk pangan, maka Tabel 1 berikut disajikan kajian keamanan beberapa pengawet yang banyak digunakan oleh industri pangan.
Tabel 1. Pengaruh beberapa bahan pengawet terhadap kesehatan
Bahan Pengawet
Produk Pangan
Pengaruh terhadap Kesehatan
Ca-benzoat
Sari buah, minuman ringan, minuman anggur manis,
ikan asin
Dapat menyebabkan reaksi merugikan pada asmatis dan yang peka terhadap aspirin
Sulfur dioksida
(SO2)
Sari buah, cider, buah kering, kacang kering, sirup, acar
Dapat menyebabkan pelukaan lambung, mempercepat serangan asma, mutasi genetik, kanker dan
alergi
K-nitrit
Daging kornet, daging kering, daging asin, pikel daging
Nitrit dapat mempengaruhi kemampuan sel darah untuk membawa oksigen, menyebabkan kesulitan bernafas dan sakit kepala, anemia, radang ginjal,
muntah
Ca- / Na-propionat
Produk roti dan tepung
Migrain, kelelahan, kesulitan tidur
Na-metasulfat
Produk roti dan tepung
Alergi kulit
Asam sorbat
Produk jeruk, keju, pikel dan salad
Pelukaan kulit
Natamysin
Produk daging dan keju
Dapat menyebabkan mual, muntah, tidak nafsu makan, diare dan pelukaan kulit
K-asetat
Makanan asam
Merusak fungsi ginjal
BHA
Daging babi segar dan sosisnya, minyak sayur, shortening, kripik kentang, pizza beku, instant teas
Menyebabkan penyakit hati dan kanker.



Mencermati kemungkinan gangguan kesehatan seperti yang tercantum dalam Tabel , maka FDA mensyaratkan kepada produsen pangan untuk membuktikan bahwa pengawet yang digunakan aman bagi konsumen dengan mempertimbangkan :
  • Kemungkinan jumlah paparan bahan pengawet pada konsumen sebagai akibat mengkonsumsi produk pangan yang bersangkutan.
  • Pengaruh komulatif bahan pengawet dalam diet.
  • Potensi toksisitas (termasuk penyebab kanker) bahan pengawet ketika tertelan oleh manusia atau binatang.
PEMANIS
Berikut beberapa jenis pemanis buatan (gula sintetis) :
1.    Saccharin
Saccharin adalah pemanis buatan yang paling tua yang ditemukan pada tahun 1879. Rasa manisnya bisa mencapai 200-700 kali gula biasa. Pada tahun 1972 Saccharin dicurigai sebagai salah satu penyebab kanker. Banyak penelitian dilakukan untuk membuktikan kecurigaan Saccharin dapat menyebabkan timbulnya kanker, akan tetapi National Cancer Institute Amerika tidak menemukan hubungan Saccharin dangan kanker. Sehingga pada tahun 2002 Saccharin dinyatakan aman dikonsumsi oleh manusia dan djual dengan nama dagang SweetN’ Low, Sweet Twin and Necta Sweet.
2.    Aspartame
Aspartame telah disetujui peredarannya oleh FDA pada tahun. Rasa manis pemanis buatan ini bisa mencapai 200 kali gula biasa. Aspartame merupakan sejenis bahan kimia yang dipecah menjadi phenylalanine, sehingga sangat berbahaya bagi mereka yang menderita Phenylketonuria. Tapi secara keseluruhan Aspartame dianggap aman dikonsumsi oleh manusia. Nama dagang yang dipakai untuk pemanis buatan ini adalan Equal dan Nutrasweet.
3.    Acesulfame-K
Acesulfame-K disetujui untuk dikonsumsi pada tahun 1988 dan baru pada tahun 2003 diperkenalkan sebagai pemanis buatan pada umumnya. Acesulfame-K tidak diolah oleh tubuh sehingga tidak ada kalori yang diserap oleh tubuh. Rasa manisnya 200 kali lebih manis dari gula biasa. Pemanis buatan ini dijual dengan nama dagang Sweet One dan Sunett.
4.        Sucralose
Sucralose disetujui penggunaannya pada tahun 1999. Pemanis ini berasal dari gula pasir dan 600 kali lebih manis dari gula pasir. Pemanis ini tidak diserap oleh tubuh sehingga tidak menambah kalori bagi tubuh. Pemanis ini juga bisa digunakan untuk memasak. Nama dagang yang digunakan pemanis ini adalah Splenda.
5.        Neotame
            Neotame adalah saudara sepupu dari Aspartame dan memiliki 7000 – 13000 kali lebih manis dari gula pasir. Neotame disetujui penggunaannya sebagai pemanis pada tahun 2002. Sekalipun Neotame adalah saudara sepupu Aspartame tapi hanya mengandung kadar phenylalanine yang sangat rendah. Pemanis buatan Neotame belum diberi nama dagangnya sampai saat ini.

SUMBER :
Anonim, 2011. Pemanis buatan. http://indrosus.wordpress.com/2010/12/21/macam-macam-pemanis-buatan/. Diakses pada tanggal 09 Mei 2011
Anonim, 2011. Pewarna pada Makanan. http://sukolaras.wordpress.com/2008/10/07/bahan-pewarna-dalam-makanan/. Diakses pada tanggal 09 Mei 2011
Anonim, 2011. Bahan Pengawet. http://id.wikipedia.org/wiki/Aditif_makanan. Diakses pada tanggal 09 Mei 2011

Fisiologi Pasca Panen

Sabtu, 17 Maret 2012

Meningkatnya proses respirasi tergantung :
  • Jumlah etilen yang di hasilkan .
  • Meningkatnya sintesa protein dan RNA(ribose nucleic acid)
Berdasarkan aktivitas respirasi yaitu banyaknya penggunaan oksigen pada proses respirasi maka sipat hasil tanaman di klasifikasi menjadi;
  • Klimaterik menjelang masak respirasi menurun.
  • Non klimaterik menjelang masak resep naik.
Dengan adanya rangsangan produksi etilena maka  aktipitas respirasi akan terangsang pula dan dengan sendirinya akan banyak berpengaruh terhadap menjadi masak dan menjadi tuanya buah hasil tanam.
Proses fisiologis berlangsung terus sehingga dalam keberlangsungan proses tersebut akan terjadi perubahan kimiawi dalam hasil tanaman yaitu ;
  • Perubahan karbohidrat
  • Perubahan zat lemak
  • Perubahan protein.dll
Karbohidrat terbentuk melalui proses fotosistesa di simpan pada sel-sel penyimpan dalam bentuk tepung .zat tepung akan berubah menjadi surkosa dan gula-gula reduksi (glukosa fruktosa) melalui proses metabolisme dengan bantuan enzim-enzim tertentu ketika hasil tanaman berada pada penyimpanan .
Yang sangat berpengaruh adalah keadaan temperature waktu dan tingkat pisiologis buah (hasil tanam).
Pengaruh timbulnya etilena terhadap hasil tanam menjadi masak dan menjadi tuanya hasil tanaman banyak di hubungkan dengan etilena. Etilena adalah suatu senyawa kimia yang mudah menguap yang di hasilkan selama proses masaknya hasil tanaman (terutama sayuran dan buah-buahan) produksi etilena erat hubungannya aktipitas respirasi .aktipitas respirasi yaitu banyaknya penggunaan oksigen pada prosesnya ,karma itu apabila produksi etilena banyak maka biasanya aktipitas respirasi itu meningkat dengan di tandai oleh meningkatmya penyerapan oksigen oleh tanaman
Pemacuan aktipitas respirasi oleh etilena mempengaruhi sifat yang berbeda pada hasil  tanaman yang klimaterik dan non klimaterik
  • Buah klimaterik
Apel, pisang,mangga,apokat,papaya,tomat,selama pematangan memperoleh sifat yang sama yaitu menunjukan peningkatan Co2 yang mendadak
  • Buah non klimaterik
Semangka,ketimun,anggur,limau,jeruk nenas ,arbei.
Setelah di panen proses respirasi Co2 yang di hasilkan tidak terus meningkat tapi langsung turun secara perlahan-lahan
Etilena ternyata terbentuk dalam buah yang sedang mengalami pemasakan terdapat banyak petunjuk bahwa etilena tersebut aktip sebagai hormone dalam pemasakan buah pada tanaman.
Beberapa varitas hasil tanaman /penimbun secara interselluler gas etilena yang dengan demikian  terjadi konsentrasi cukup tinggi untuk memotivasi masaknya buah pada saat-saat yang relatip singkat (beberapa jam) sebelum permulaan peningkatan respirasi klimaterik.
  • Pada suhu dan tekanan normal etilena itu berbentuk gas
  • Jumlah etilena aktip yang di hasilkan jaringan tanaman dan mikroorganisme sangat kecil
Hasil tanam yang bersipat klimaterik menjelang masak aktivitas respirasinya menurun atau aktivitas respirasi berlangsung tidak mencolok .
Hasil tanaman yang bersipat non klimaterik menjejang masak aktivitas respirasinya naik/sangat cepat dan mencolok yang selanjutnya menurun setelah lewat masak  sifat-sifat tersebut adalah pertimbangan memanen
Peningkatan respirasi merupakan peristiwa sekunder tergantung pada kadar etilen yang tersedia. Klimaterik diperuntukan terhadap tahapan kritis dalam pertumbuhan buah yang telah dirangsang pada permulaannya oleh etilen karena banyak peristiwa yang terjadi selama tahapan itu diantaranya ;
·         Peningkatan sintesa RNA dan protein.
·         Perubahan permeabilitas sel
·         Peningkatan respirasi
Klimaterik menunjukan suatu stadium autostimulasi dengan efek menguningnya warna hasil tanaman serta peningkatan respirasi sebagai dua bentuk efek yang menyertainya.
Menjadi tua (menuannya) buah (hasil tanaman) yaitu buah (hasil tanaman) yang telah masak masih mengalami proses lebih lanjut yang merupakan proses kemunduran yang secara normal mengakhiri umur fungsional sesuatu organ
Jadi menjadi tuannya (senescence) hasil tanaman dapat diartikan sebagai proses menuju kearah kerusakan sejak lewat masak optimal.
Perkembangan senescence hasil tanaman merupakan perkembangan lanjutan setelah hasil tanaman tadi menjadi masak, perkembangan lanjutan tadi dalam banyak hal menyebabkan hasil tanaman mengalami kemunduran kualitas yang disebabkan karena adanya kerusakan dan menyebabkan hasil tanaman tadi menurun nilainya yang lalu menjadi tidak bermanfaat (dibaung)
Selama penyimpanan timbul panas akan meaikan suhu penyimpanan akan berpengaruh pada senescence hasil tanaman. Oleh karena itu;
  • Diperlukan perlakuan-perlakuan khusus selama pengangkutan dan penyimpanan
  • Pengendalian kearah senescence dan kerusakan fisiologis setelah panen (physiological diosorders). Dilakukan dengan sebaik-baiknya sehingga hasil tanaman tetap akan memiliki nilai untuk dikonsumsi.

MEKANISME RESPIRASI DAN FOTOSINTESIS PADA TANAMAN C3, C4 DAN CAM

Tanaman terbagi atas tiga grup utama, C3, C4 dan CAM yang dibedakan oleh cara mereka mengikat CO2 dari atmosfir dan produk awal yang dihasilkan dari proses assimilasi. Pada tanaman C3, enzim yang menyatukan CO2 dengan RuBP (RuBP merupakan substrat untuk pembentukan karbohidrat dalam proses fotosintesis) dalam proses awal assimilasi, juga dapat mengikat O2 pada saat yang bersamaan untuk proses fotorespirasi (fotorespirasi adalah respirasi,proses pembongkaran karbohidrat untuk menghasilkan energi dan hasil samping, yang terjadi pada siang hari), sehingga ada kompetisi antara CO2 dan O2 dalam menggunakan RuBP (Farquhar dan Caemmerer, l982). Jika konsentrasi CO2 di atmosfir ditingkatkan, hasil dari kompetisi antara CO2 dan O2 akan lebih menguntungkan CO2, sehingga fotorespirasi terhambat dan assimilasi akan bertambah besar. Contoh tanaman C3 antara lain : kedele, kacang tanah, kentang, sedang contoh tanaman C4 adalah jagung, sorgum dan tebu.

Peningkatan laju assimilasi tanaman kedelai (C3) dengan pertambahan PAR  yang disebut juga "asimilasi cahaya oksidatif" ini terjadi pada sel-sel mesofil daun dan diketahui merupakan gejala umum pada tumbuhan C3, seperti kedelai dan padi. Lebih jauh, proses ini hanya terjadi pada stroma dari kloroplas, dan didukung oleh peroksisom dan mitokondria.
Secara biokimia, proses fotorespirasi merupakan cabang dari jalur glikolat. Enzim utama yang terlibat adalah enzim yang sama dalam proses reaksi gelap fotosintesis, Rubisco (ribulosa-bifosfat karboksilase-oksigenase). Rubisco memiliki dua sisi aktif: sisi karboksilase yang aktif pada fotosintesis dan sisi oksigenase yang aktif pada fotorespirasi. Kedua proses yang terjadi pada stroma ini juga memerlukan substrat yang sama, ribulosa bifosfat (RuBP), dan juga dipengaruhi secara positif oleh konsentrasi ion Magnesium dan derajat keasaman (pH) sel. Dengan demikian fotorespirasi menjadi pesaing bagi fotosintesis, suatu kondisi yang tidak disukai kalangan pertanian, karena mengurangi akumulasi energi.
Jika kadar CO2 dalam sel rendah (misalnya karena meningkatnya penyinaran dan suhu sehingga laju produksi oksigen sangat tinggi dan stomata menutup), RuBP akan dipecah oleh Rubisco menjadi P-glikolat dan P-gliserat (dengan melibatkan satu molekul air menjadi glikolat dan P-OH). P-gliserat (P dibaca "fosfo") akan didefosforilasi oleh ADP sehingga membentuk ATP. P-glikolat memasuki proses agak rumit menuju peroksisoma, lalu mitokondria, lalu kembali ke peroksisoma untuk diubah menjadi serin, lalu gliserat. Gliserat masuk kembali ke kloroplas untuk diproses secara normal oleh siklus Calvin menjadi gliseraldehid-3-fosfat (G3P).
Pada tanaman C4, CO2 diikat oleh PEP (enzym pengikat CO2 pada tanaman C4) yang tidak dapat mengikat O2 sehingga tidak terjadi kompetisi antara CO2 dan O2. Lokasi terjadinya assosiasi awal ini adalah di sel-sel mesofil (sekelompok sel-sel yang mempunyai klorofil yang terletak di bawah sel-sel epidermis daun). CO2 yang sudah terikat oleh PEP kemudian ditransfer ke sel-sel "bundle sheath" (sekelompok sel-sel di sekitar xylem dan phloem) dimana kemudian pengikatan dengan RuBP terjadi. Karena tingginya konsentasi CO2 pada sel-sel bundle sheath ini, maka O2 tidak mendapat kesempatan untuk bereaksi dengan RuBP, sehingga fotorespirasi sangat kecil and G sangat rendah, sekitar 5 m mol m-2 s-1. PEP mempunyai daya ikat yang tinggi terhadap CO2, sehingga reaksi fotosintesis terhadap CO2 di bawah 100 m mol m-2 s-1 sangat tinggi. Pada kisaran konsentrasi CO2 300 - 500 m mol m-2 s-1, laju assimilasi tanaman C4 hanya bertambah sedikit
Dengan meningkatnya CO2, walaupun PAR sangat tinggi. Sehingga, dengan meningkatnya CO2 di atmosfir, tanaman C3 akan lebih beruntung dari tanaman C4 dalam hal pemanfaatan CO2 yang berlebihan. 

Perbedaan tumbuhan C3 dan C4 adalah cara kedua tumbuhan memfiksasi CO2. Pada tumbuhan C3,CO2 hanya difiksasi RuBP leh karboksilase RuBP. Karboksilase RuBP hanya bekerja apabila CO2 jumlahnya berlimpah. Tetapi pada sintesis C4,enzim karboksilase PEP memfiksasi CO2 pada akseptor karbon lain yaitu PEP. Karboksilase PEP memiliki daya ikat yang lebih tinggi terhadap CO2 daripada karboksilase RuBP. Oleh karena itu,tingkat CO2 menjadi sangat rendah pada tumbuhan C4,jauh lebih rendah daripada konsentrasi udara normal dan CO2 masih dapat terfiksasi ke PEP oleh enzim karboksilase PEP. Sistem perangkap C4 bekerja pada konsentrasi CO2 yang jauh lebih rendah.

CAM adalah singkatan dari Crassulacean Acid Metabolism, yaitu tanaman yang reaksi gelap pada fotosintesisnya khas karena hanya berlangsung dapat berlangsung pada malam hari. Contohnya tanaman yang hidup di daerah panas, misalnya kaktus.

tumbuhan CAM bersifat waktu (temporal), yaitu memisahkan waktu untuk reaksi terang (pada saat penyinaran penuh) dan reaksi gelap (di malam hari).

Pada malam hari jika kondisi udara kurang menguntungkan untuk transpirasi, stomata tumbuhan CAM membuka, karbon dioksida berdifusi ke dalam daun dan di ikat oleh system Pep karboksilase untuk membentuk OAA dan malat. Mlat lalu di puindahkan dari sitoplasma ke vakuola tengah sel 0- sel mesofoil dan disana asam, ini terkumpul  dalam jumlah besar. Sepanjang siang hari stomata menutup, karena itu berkuranglah kehilangan airnya.

Integrated Farming System

Jumat, 23 Desember 2011
Integrated Farming System
Sistim Pertanian Terpadu

Pendahuluan
Paradigma pembangunan yang mengedepankan pertumbuhan ekonomi telah memacu pemanfaatan sumberdaya alam secara berlebihan sehingga eksploitasi sumberdaya alam semakin meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk dan kebutuhan manusia. Akibatnya, sumberdaya alam semakin langka dan semakin menurun kualitas dan kuantitasnya. Tanah yang rusak/kritis sangat sulit untuk dimanfaatkan menjadi lahan yang bermanfaat, karena keterbatasan-keterbatasan dari lahan kritis itu sendiri. Tanah yang rusak dengan kekurangannya sulit untuk menjaga lengas tanah, yang berakibat pada sulitnya mendapatkan pada saat musim kemarau. Sementara itu, tanah rusak tidak dapat menyimpan air di waktu musim penghujan, sehingga hujan yang terjadi sebagian besar menjadi aliran permukaan yang dapat menyebabkan erosi permukaan.
Sistem pertanian yang dikembangkan selama beberapa dekade yang lalu telah memberikan kontribusi besar pada penghapusan kelaparan dan peningkatan standar hidup. Namun, pemanfaatan input luar (misalnya penggunaan pestisida, pupuk buatan, dst.) secara besar-besaran telah mengakibatkan kerusakan lingkungan dan sumber daya yang tidak bisa diperbarui. Maka menjadi sangat relevan seruan untuk mengembangkan pertanian yang ekologis dan berkelanjutan untuk masa depan. Konsep Pertanian Berkelanjutan dengan Input Luar Rendah (Low-External-Input and Sustainable Agriculture - LEISA) dan Pengembangan Teknologi Partisipatif. LEISA adalah pertanian yang mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya alam dan manusia yang tersedia di tempat (seperti tanah, air, tumbuhan, tanaman, dan hewan lokal serta tenaga manusia, pengetahuan, dan keterampilan) dan yang secara ekonomis layak, mantap secara ekologis, disesuaikan menurut budaya dan adil secara sosial. Pemanfaatkan input luar tidak dikesampingkan namun hanya sebagai pelengkap pemanfaatan sumber daya lokal.   
Strategi pendekatan yang dikembangkan untuk mendukung pertanian yang berkelanjutan adalah dengan kombinasi yang menggunakan praktek-praktek pertanian alami dengan pengetahuan baru namun mudah diaplikasikan. Sebagai mata program dan lebih lanjut adalah agenda petani (khususnya anggota API) di masa depan bahwa pertanian alami yang dikembangkan lebih pada peningkatan kapasitas organisasi tani melalui pendidikan. Pendidikan yang dimaksudkan pada titik tekan proses nalar pikir petani dengan metode pendekatan participatory action research, karena petani tidak memiliki kelembagaan formal seperti sekolah dengan gurunya. Selama ini, petani hanya memiliki fasilitator dari pemerintah dan lembaga NGO. Sistem pertanian alami akan menghasilkan lumbung benih komunitas, dan berbeda dengan cara kerja Dolog karena bersifat material seperti adanya pergudangan yang membutuhkan lahan dan hal-hal administrasi lainya yang akan berdampak terhadap besaran biaya untuk mengoperasionalkan sementara itu tujuannya hanya menempatkan gabah panenan. Lumbung benih konsep petani dengan sistem pertanian alami, justru ditanam dan selanjutnya akan ditanam kembali. Hal ini sebenarnya adalah usaha bersama yang berwatak kolektif dan bersifat pengetahuan empiris dan kelak jika proses tersebut tidak mendapat gangguan yang cukup nyata dari luar, terjadi proses stabilisasi strain (varietas) yang cocok dengan kondisi tanah setempat.
Dalam proses pembelajaran tentang sistem pertanian alami, faktor penting yang perlu ditekankan bahwa muatan pertanian alami sesungguhnya mengandalkan pada sumberdaya lokal seperti penggunaan dan pemeliharaan bibit lokal, pemanfaatan limbah pertanian alami, kotoran ternak, maka nilai-nilai kearifan lokal (wisdom) terhadap pengelolaan dan penataan sumberdaya dengan sendirinya akan menjadi bahan dan sumber dialog ditingkatan petani (horisontal) dan sekaligus menjadi cara pandang dalam sistem pertanian secara alami. Dengan demikian, sekaligus untuk menjawab keikut sertaan dari apa yang dilakukan oleh pihak luar sebatas diperlukan jika petani hanya memerlukan jawaban atas masalah-masalah yang muncul berkaitan dengan persoalan-persoalan praktis di lapangan dan peran dari pihak luar hanya untuk memfasilitasi dengan pihak lain.
Komponen Integrated Farming System
Sistem ini memiliki satu pusat dan satu tujuan yaitu manusia yang harus dipenuhi kebutuhannya. Pusat ini dikelilingi dengan berbagai model kegiatan ekonomi pertanian yang saling berkaitan satu sama lain misalnya peternakan, perikanan, ladang/persawahan dan pengelolaan limbah (waste treatment). Satu persatu kita akan membahas komponen integrated farming system tersebut:
1. Manusia
Manusia sebagai makhluk hidup membutuhkan energi sebagai motor kehidupannya. Dengan integrated farming system, manusia tidak hanya mendapatkan keuntungan finansial tetapi juga pangan sebagai kebutuhan primer dan energi panas serta listrik.
2. Peternakan
Peternakan memainkan peran sebagai sumber energi dan penggerak ekonomi dalam integrated farming system. Sumber energi berasal dari daging, susu, telur serta organ tubuh lainnya bahkan kotoran hewan. Sedangkan fungsi penggerak ekonomi berasal dari hasil penjualan ternak, telur, susu dan hasil sampingan ternak (bulu dan kotoran).
Dalam mendesain komponen peternakan yang akan digunakan untuk Integrated Farming System faktor biosekuriti adalah faktor penting yang harus selalu diperhatikan. Adalah pencegahan penularan penyakit antar hewan yang menjadi fokus biosekuriti tersebut.
3. Persawahan atau Ladang
Syarat tanaman yang bisa diusahakan adalah bernilai ekonomi dan bisa menyediakan pakan untuk peternakan. Padi, strawberi, apel, anggur, singkong, tomat, talas dan jamur dapat digunakan dalam integrated farming system. Perhatikan bahwa padi yang digunakan harus berlabel biru atau yang tahan terhadap air yang agak tinggi. Hasil samping pertanian berupa jerami, sekam dan sisa batang dapat digunakan sebagai pakan ternak dan ikan, pembuatan biogas dan kompos.
4. Perikanan
Ikan yang digunakan untuk Integrated Farming System adalah ikan air tawar yang dapat beradaptasi dengan lingkungan air yang keruh, tidak membutuhkan perawatan ekstra, mampu memanfaatkan nutrisi yang ada dan memiliki nilai ekonomis. Ikan yang sering digunakan adalah ikan nila, gurami, mas, tambakan dan lele. Ikan dapat dipeli-hara secara tunggal (monoculture) atau campuran (polyculture), asalkan jenis yang dipelihara mempunyai kebiasaan makan berbeda agar tidak terjadi perebutan pakan, misalnya ikan mas dengan gurami.

PERTANIAN TERPADU TRADISIONAL
Salah satu daerah yang menerapkan pertanian tradisional yaitu adalah suku Baduy (Banten) yang memiliki khas dari segi konservasi hutan serta memperkirakan bagaimana keberlanjutan sistem tersebut di masa yang akan datang.
Pola Pertanian Tradisional Masyarakat
Sistem perladangan berpindah atau perladangan daur ulang telah dipraktekkan selama berabad-abad dan merupakan bentuk pertanian yang paling awal di wilayah tropika dan subtropika. Sistem pertanian dilakukan adalah tanaman pangan dalam waktu dekat (pada umumnya 2 – 3 tahun), dan kemudian diikuti dengan fase regenerasi atau masa bera yang lebih lama (pada umumnya 10 – 20 tahun). Pembukaan hutan biasanya menggunakan alat sederhana, dilakukan secara tradisional dan menggunakan cara tebang bakar (Nair, 1993).
Pada waktu hutan dibuka maka tumbuhan alam yang berguna biasanya dibiarkan atau sedikit disiangi dan dimanfaatkan hasilnya. Lama waktu perladangan dan masa bera atau masa lahan diistirahatkan adalah sangat bervariasi, dan lama masa bera merupakan faktor kritis bagi regenerasi kesuburan tanah, keberlanjutan, dan hasil pertanian yang didapatkan. Regenerasi kesuburan tersebut melibatkan tumbuh kembalinya tanaman tahunan atau tumbuhan asli (Nair, 1993).
Masyarakat Baduy yang masih mengikuti pola pertanian tradisional zaman Kerajaan Sunda (Pajajaran), telah mempraktekkan sistem perladangan berpindah tersebut sejak kurang lebih 600 tahun yang lampau. Mereka membuka huma untuk ditanami padi selama 1 sampai 2 tahun, dan kemudian ketika hasil panen telah menurun akan meninggalkan huma tersebut dan membuka kembali huma baru dari bagian hutan alam yang mereka peruntukkan bagi kepentingan tersebut. Huma yang ditinggalkan pada suatu saat akan diolah kembali dan periode masa bera tersebut pada awalnya 7 sampai 10 tahun.
Kepemilikan lahan pertanian adalah komunal, terutama untuk wilayah Baduy Dalam, artinya setiap warga dapat menggarap tanah di wilayah ladang yang manapun dalam luasan yang tak dibatasi, namun hanya sesuai kekuatan tenaga yang mengerjakannya. Sedangkan bagi warga Baduy Luar, selain mengerjakan huma panamping, mereka juga dapat menyewa lahan pertanian milik penduduk non Baduy untuk digarap sesuai adat Baduy. Apabila lahan garapan tersebut kemudian dibeli, maka akan menjadi Huma urang Baduy, yang sepenuhnya menjadi hak milik orang tersebut.
Pola Konservasi Hutan Tradisional
Masyarakat Baduy menerapkan cara pertanian ladang berpindah yang merupakan cara bercocok tanam tahap awal evolusi cara bertani. Sistem perladangan berpindah tersebut sangat tergantung pada keberadaan dan kelestarian hutan  di wilayah tersebut. Dengan demikian hutan memegang peran penting dalam hubungan antara masyarakat Baduy dengan lingkungan alamnya. Keberadaan mereka menurut sejarah dan kepercayaan adalah dalam rangka menjaga hutan dan mata air Sungai Ciujung yang menjadi sungai utama pada jaman Kerajaan Sunda/Pajajaran. Masyarakat Baduy diperintahkan untuk mengelola Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciujung yang berperan sangat penting dalam bidang transportasi dan pertanian, beserta hutan yang melindungi mata airnya, yang mereka sebut sebagai Sirah Cai atau kepala air (Adimihardja, 2000).
Untuk dapat menjamin adanya ketersediaan air baik di musim penghujan dan musim kemarau (iklim tropis) diperlukan beberapa teknologi yang applicable dan hemat biaya karena petani lahan kering umumnya miskin. Beberapa penelitian konservasi air telah dilakukan dan diujicobakan pada berbagai tempat untuk dapat memaksimalkan simpanan air hujan dan mengoptimalkan manfaat sumberdaya air terutama di musim kemarau. Tulisan ini berusaha untuk menguraikan teknik konservasi air yang dapat diterapkan pada lahan kering.
Terjadinya lahan-lahan kritis yang pada dasarnya berada di wilayah DAS (Daerah Aliran Sungai) tidak saja menyebabkan menurunnya produktivitas tanah di tempat terjadinya lahan kritis itu sendiri, tetapi juga menyebabkan rusaknya fungsi hidrologis DAS dalam menahan, menyimpan dan meresapkan air hujan yang jatuh pada kawasan DAS tersebut. Kegiatan rehabilitasi dan konservasi lahan terpadu pada lahan kering kritis pada wilayah DAS ini sangat relevan dalam mendukung GNKPA (Gerakan Nasional Kemitraan Penyelamatan Air) yang telah dicanangkan oleh Bapak Presiden Republik Indonesia pada tanggal 28 April 2005. Gerakan ini merupakan gerakan nasional terpadu antar sektor dan pemangku kepentingan lainnya yang bertujuan untuk mengembalikan keseimbangan siklus hidrologi pada seluruh wilayah DAS di Indonesia.  Tulisan ini berusaha untuk menguraikan teknik konservasi air yang dapat diterapkan pada lahan kering.
Untuk menjaga keseimbangan ekosistem hutan dan DAS tersebut, maka masyarakat Baduy yang bermukim di wilayah tersebut ditabukan untuk bercocok tanam dengan cara mengolah lahan seperti membuat petak sawah, mencangkul, atau menanami dengan tanaman untuk perdagangan. Cara pengolahan lahan yang berlebihan dan pengusahaan lahan pertanian untuk diperdagangkan diyakini akan menimbulkan kerusakan ekosistem. Dengan demikian pertanian yang mereka praktekkan adalah pertanian sederhana, sesedikit mungkin mengolah tanah dan hanya untuk kebutuhan bertahan hidup secara subsisten saja. Bekas ladang akan diliarkan kembali dan menjadi hutan belukar, dan seterusnya menjadi hutan sekunder. Selain itu hewan ternak yang berkaki empat juga ditabukan mengingat injakan kaki serta kebutuhan makanan ternak akan daun-daunan dalam jumlah banyak diyakini pula dapat mengganggu kelestarian hutan.



Aplikasi konservasi
  • Sistem Pertanaman Lorong (Alley Cropping)
Sistem pertanaman lorong ialah suatu sistem di mana tanaman pangan ditanam pada lorong di antara barisan tanaman pagar. Sangat bermanfaat dalam mengurangi laju limpasan permukaan dan erosi, dan merupakan sumber bahan organik dan hara terutama N untuk tanaman lorong. Teknik budidaya lorong telah lama dikembangkan dan diperkenalkan sebagai salah satu teknik konservasi tanah dan air untuk pengembangan sistem pertanian berkelanjutan pada lahan kering di daerah tropika basah, namun belum diterapkan secara meluas oleh petani.





  • Sistem Pertanaman Strip Rumput
Sistem Pertanaman Strip Rumput ialah sistem pertanaman yang hampir sama dengan pertanaman lorong, tetapi tanaman pagarnya adalah rumput. Strip rumput dibuat mengikuti kontur dengan lebar strip 0,5 m atau lebih. Semakin lebar strip semakin efektif mengendalikan erosi. Sistem ini dapat diintegrasikan dengan ternak. Penanaman Rumput Makanan Ternak didalam jalur/strip. Penanaman dilakukan menurut garis kontur dengan letak penanaman dibuat selang-seling agar rumput dapat tumbuh baik, usahakan penanamannya pada awal musim hujan. Selain itu tempat jalur rumput sebaiknya ditengah antara barisan tanaman pokok.

  • Tanaman Penutup Tanah (LCC)
Merupakan tanaman yang ditanam tersendiri atau bersamaan dengan tanaman  pokok.. Tanaman penutup tanah berperan: (1) menahan atau mengurangi daya perusak butir-butir hujan yang jatuh dan aliran air di atas permukaan tanah, (2) menambah bahan organik tanah melalui batang, ranting dan daun mati yang jatuh, dan (3) melakukan transpirasi, yang mengurangi kandungan air tanah. Peranan tanaman penutup tanah tersebut menyebabkan berkurangnya kekuatan dispersi air hujan, mengurangi jumlah serta kecepatan aliran permukaan dan memperbesar infiltrasi air ke dalam tanah, sehingga mengurangi erosi.
  • Mulsa
Mulsa ialah bahan-bahan (sisa-sisa panen, plastik, dan lain-lain) yang disebar atau digunakan untuk menutup permukaan tanah. Bermanfaat untuk mengurangi penguapan (evaporasi) serta melindungi tanah dari pukulan langsung butir-butir hujan yang akan mengurangi kepadatan tanah. Macam Mulsa dapat berupa, mulsa sisa tanaman, lembaran plasti dan mulsa batu. Mulsa sisa tanaman ini terdiri dari bahan organik sisa tanaman (jerami padi, batang jagung), pangkasan dari tanaman pagar, daun-daun dan ranting tanaman. Bahan tersebut disebarkan secara merata di atas permukaan tanah setebal 2-5 cm sehingga permukaan tanah tertutup sempurna.
Thamrin dan Hanafi (1992) telah melakukan penelitian pengaruh mulsa terhadap tanah di lahan kering. Mulsa yang digunakan adalah seresah tanaman.  Hasilnya menunjukkan bahwa pemberian mulsa dapat menghemat lengas tanah dari proses penguapan, sehingga kebutuhan tanaman akan lengas tanah terutama musim kering dapat terjamin. Selain itu, pemberian mulsa dapat menghambat pertumbuhan gulma yang mengganggu tanaman sehingga konsumsi air lebih rendah.
  • Pengelompokan tanaman dalam suatu bentang alam (landscape)
Pengelompokan tanaman dalam suatu bentang alam (landscape) mengikuti kebutuhan air yang sama, sehingga irigasi dapat dikelompokkan sesuai kebutuhan tanaman. Teknik ini dilakukan dengan cara mengelompokkan tanaman yang memiliki kebutuhan air yang sama dalam satu landscape. Pengelompokkan tanaman tersebut akan memberikan kemudahan dalam melakukan pengaturan air. Air irigasi yang dialirkan hanya diberikan sesuai kebutuhan tanaman, sehingga air dapat dihemat. Hal ini dapat dijadikan sebagai dasar dalam pemberian air irigasi yang sesuai dengan kebutuhan, sehingga dapat hemat air.
  • Penyesuaian jenis tanaman dengan karakteristik wilayah.
Teknik konservasi air ini dilakukan dengan cara mengembangkan kemampuan dalam menentukan berbagai tanaman alternatif yang sesuai dengan tingkat kekeringan yang dapat terjadi di masing-masing daerah. Sebagai contoh, tanaman jagung yang hanya membutuhkan air 0,8 kali padi sawah akan tepat jika ditanam sebagai pengganti padi sawah untuk antisipasi kekeringan Pada daerah hulu DAS yang merupakan daerah yang berkelerengan tinggi, tanaman kehutanan menjadi komoditas utama.
  • Penentuan pola tanam yang tepat.
Penentuan pola tanam yang tepat, baik untuk areal yang datar ataupun berlereng. Pola tanam disesuaikan dengan kondisi curah hujan setempat untuk mengurangi deficit air pada musim kemarau. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Gomez dan Gomez (1983) dalam Purwono et al, (2003) menunjukkan bahwa pada lahan dengan kemiringan 5% dengan pola tanam campuran ketela pohon dan jagung akan dapat menurunkan run off dari 43% menjadi 33% dari curah hujan dibandingkan dengan jagung monokultur. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan besar kebutuhan air tiap jenis vegetasi. Besarnya kebutuhan air beberapa jenis tanaman dapat menjadi acuan dalam membuat pola tanam yang optimal.
Manfaat  penerapan usaha tani  konservasi
Dua manfaat utama pertanian konservasi dibandingkan dengan teknik pertanian lain, yaitu input tenaga kerja yang rendah dan penggunaan proses ekologis alamiah secara efektif. Pertanian konservasi memanfaatkan proses ekologis alami untuk mempertahankan kelembaban, meningkatkan kesuburan tanah, memperkuat struktur tanah, dan mengurangi erosi serta keberadaan hama penyakit. Hal itu dilakukan melalui tiga cara, yaitu dengan meminimalkan gangguan pada tanah, menyimpan sisa tanaman, dan rotasi tanaman. Pembajakan dan pembakaran mengganggu tanah dan biota kecil yang hidup di dalamnya. Sebaliknya, pertanian konservasi sangat sedikit mengganggu tanah, memberi kesempatan flora dan fauna tanah yang ada untuk tumbuh subur secara alami. Flora dan fauna tanah tersebut akan membusukkan sisa tanaman yang dijadikan penutup tanah oleh petani, sehingga menambah nutrisi pada tanah dan meningkatkan struktur humus tanah. Selain itu, pertanian konservasi mampu memanfaatkan hujan dengan lebih baik sebab tanah yang ditutupi oleh sisa tanaman akan menyerap lebih banyak air hujan dan mengalami lebih sedikit penguapan. Saat curah hujan rendah, lahan akan menangkap kelembaban yang ada di udara. Penutupan tanah juga mengurangi kikisan air, yang jika dipadukan dengan struktur tanah yang telah diolah, akan mampu mengurangi erosi tanah dari air dan angin. Akhirnya, rotasi tanaman mendapat keuntungan dari proses ekologis alamiah melalui kacaunya siklus hama penyakit, dan pemakaian tanaman polong-polongan untuk mengikat nitrogen di dalam tanah. Dalam jangka panjang, pertanian konservasi yang memanfaatkan proses ekologis alami mengurangi pemakaian pupuk dan pestisida oleh petani sehingga mendukung pendekatan penggunaan input luar rendah.











DAFTAR PUSTAKA

Adimihardja, K. (2000). Orang Baduy di Banten Selatan: Manusia air pemelihara sungai, Th. XXIV, No. 61, Jan-Apr 2000, hal 47 – 59.

Anonim, 2010. Sistim Pertanian Lokal. http://www.krkp.org/kebijakan-pangan/48-menemukan-kembali-dan-memperkuat-sistem-pangan-lokal.html. Diakses pada tanggal 10-10-2010

Anonim, 2010. Sistim Pertanian Terpadu. http://pertanian.blogsome.com/2007/10/30/memperkuat-kembali-sistem-pangan-lokal/. Diakses pada tanggal 10-10-2010

Anonim, 2010. Sistim Pertanian Lokal. http://klipingut.wordpress.com/2008/01/11/konservasi-hutan-dan-pola-pertanian-tradisional-masyarakat-baduy-di-banten/. Diakses pada tanggal 10-10-2010

Nugraheni, E. & Winata, A. (2003). Konservasi lingkungan dan plasma Nutfah menurut kearifan tradisional masyarakat kasepuhan Gunung Halimun, Jurnal Studi Indonesia, Volume 13, Nomor 2, September 2003, halaman 126-143.



















welcome

Browse